Showing posts with label Walks. Show all posts
Showing posts with label Walks. Show all posts

12/07/2011

Karim Raslan: Biennale Bravado

Jakarta Globe | December 1st 2011 | Links: http://www.thejakartaglobe.com/opinion/karim-raslan-biennale-bravado/481847


A blurry video in a darkened room, a small ficus bush and a partially obscured screen. Akiq Aw’s exploration of the shadowy world between faiths is both haunting and yet strangely banal as a nondescript and unremarkable man recounts his personal journey from Islam to Christianity. Later a woman describes her path in the opposite direction. 

In another room, similarly darkened, the artist Krisnamurti has placed a jilbab-wearing woman on the floor. A video is projected across her body. We look on as the ebb and flow of the tide appears to course over her silent, unmoving form. Meanwhile, the near-deafening soundtrack of water crashing on the shore is likewise mesmerizing. 

In yet another room, the Indian artist N.S. Harsha has splattered paint on the raw concrete. It’s a diagonal gash that seems to represent both an artist at work (pace Jackson Pollock) as well as Creation itself, as the Big Bang unfurls across the cosmos. 

Contemporary art biennales are often an exercise in confusion and dysfunctionality: strange installations, incoherent videos and ugly paintings, reveling in their manifest lack of artistry. But while the recently opened Jogja Biennale (the city’s 11th) has its fair share of non sequiturs, the event is held together by an unflinching curatorial focus, namely the decision to highlight only two countries — India and Indonesia — and one theme: religiosity. 

The ensuing result is an exciting and eye-opening survey of art and contemporary concerns from two of Asia’s largest nations: one predominantly Hindu, the other Muslim, and both avowedly secular. 

Interestingly, the art from both countries is resolutely centrist and plural. Fears of and concerns about extremism and bigotry are interspersed with pleas for tolerance and mutual understanding with a sideways glance at the gradual erosion and disappearance of the traditional, local myths and folklore. To my mind (but maybe I’m biased since I’ve long been one of the Biennale’s supporters) the ambitiousness and sheer bravado of the venture is quite enthralling. 

I like the way that artists, writers and curators from both countries have come together, dispensing with the accepted metropolitan centers of validation and supposed excellence. London, Paris and New York are forgotten as the art displayed creates its own intriguing linkages and juxtapositions between Yogyakarta, Jakarta, Mumbai, Mysore and Delhi. 

According to the director of the Biennale Foundation running the operations, the next Biennale will focus on an Arab nation. As Egypt goes through the throes of its own “reformasi,” I only hope that it’ll be the chosen country, providing a fascinating counterpoint to Indonesia. 

Of course, the bonds between India and Indonesia will be hard to equal. The ties between the two are profound and deep — deeper indeed than the bonds that link Indonesia with China. Moreover, on the south-facing plains of Central Java with Mount Merapi as a silent sentinel, the historical and cultural traces of the relationship — Prambanan and Borobudur — remain as haunting presences of an interaction that has spanned the millennia. 

In more modern times, India and Indonesia supported each other’s independence movements. Furthermore, in the 1950s and ’60s, Sukarno and Jawaharlal Nehru were the twin pillars of the Non-Aligned Movement. Now, after decades of less intense relations, India and Indonesia are fast regaining interest in each other, as the Biennale demonstrates. 

While I’m not sure if the artists themselves realize it, the Biennale suggests that India and Indonesia mean to also assert themselves both culturally and economically. This is going to be the beginning of a marked increase in engagement between the two Asian giants. Recognizing this trend, the Biennale’s organizers made a big point about stressing the documentary aspects of the collaboration and the need to increase Indonesian understanding of India. 

Still, the real surprise was the enormous number of art lovers at the Biennale’s opening night. With literally thousands of people cramming into the Jogja National Museum (most of them young students) the city displayed its dynamism and openness to the arts. As the Indian co-curator Suman Gopinath told me, “The sheer number of people is amazing. Besides that, the Biennale shows what you can achieve with limited funds and infrastructure.” 

The Jogja National Museum is not the Guggenheim or the Tate Modern. Nonetheless, it has both the art and the audience, an audience that believes in the centrality of human expression and creativity. 


Karim Raslan is a columnist who divides his time between Malaysia and Indonesia.


This article also published at Asia Sentinel | http://www.asiasentinel.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3998&Itemid=203

11/09/2010

Benda Banyak Rupa Dalam Foto Ala Akiq AW


YOGYA (KRjogja.com) - Fotografer Akiq AW menggelar pameran tunggal fotografinya bertajuk 'The Order of Things' di Mes 56 Yogyakarta dari tanggal 28 Agustus hingga 19 September 2010 mendatang. Pameran ini menampilkan 43 foto yang merupakan karya pribadinya sejak tahun 2008-2009 yang tidak ada objek manusianya.

"The Order of Things adalah karya-karya fotografi yang menghadirkan obyek-obyek foto berupa benda-benda dalam banyak rupa dan bentuknya saling berinteraksi membentuk pola, kekacauan atau saling berjajar," katanya di Mes 56 Yogyakarta, Selasa (31/8).

Menurutnya benda-benda dalam banyak rupa dan bentuk dengan medan jalan sebagai ruang pamernya itu amat menarik mata serta ingatan yang hadir sebagai ekspresi simbolik manusia atas nilai-nilai dan strategi bertahan mereka. Interaksi benda-benda yang membentuk pola itu hadir bukan sebagai sesuatu yang tidak sengaja yang menyatakan tentang kisah manusia yang berjuang melawan, berkompromi dengan alam dan manusianya serta dengan teknologi.

“Menyoroti bangunan depan rumah, bangunan bentuk itu masuk dalam obyek yang ada sehingga membentuk sesuatu yang menarik. Ini adalah ekspresi simbolik manusia antara berkompromi atau melawan teknologi tapi akhirnya memilih berkompromi,” kata seniman kelahiran Kediri ini.
Akiq mengatakan kemunculan benda-benda itu barangkali mengundang pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu untuk dijawab namun amat menarik untuk dipikirkan bagaimana benda-benda itu muncul dan bisa dimanfaatkan sebagai obyek foto. “Saya mengambilnya secara snapshot, melatih kepekaan melihat bentuk-bentuk aneh, menelusuri keanehan, melihat langsung semua bentuk dipinggir jalan,” ujarnya.

Akiq AW memamerkan 43 karya fotografi dengan ukuran-ukuran yang cukup bervariasi mulai dari ukuran terkecil 20 cm x 20 cm hingga terbesar 90 cm x 90 cm. Karya-karya Akiq adalah karya-karya pribadi yang dikoleksi dari 2008-2010 ada beberapa juga dibuat tahun 2006. “Sebagian besar foto-foto ini saya buat di Yogyakarta tapi juga beberapa dihasilkan di tempat lain seperti di Kopeng, Muntilan dan Kediri,” kata lulusan jurusan komunikasi Fisipol UGM ini.

Memperhatikan karya-karya foto yang dipamerkan Akiq bisa dimunculkan pemikiran, 43 karya fotografi Akiq akhirnya menjadi karya-karya yang sangat personal dalam melihat keanehan-keanehan interaksi antarbenda yang ditemuinya dalam 2 tahun terakhir ini. Ekspresi manusia atas benda-benda nampak sangat jelas hadir dalam karya foto yang mengetengahkan bentuk ranting serta daun sebuah pohon yang ditata sedemikian rupa oleh tangan manusia dengan menggunakan peralatan atau teknologi.

Semua karya fotografi yang dipamerkan Akiq memberi pemahaman besar bagi para pengunjung bahwa interaksi benda-benda yang membentuk pola itu adalah ajakan untuk berfikir tentang kekinian yang terjadi.Juga sebuah keberlanjutan cara pandang terhadap prinsip, nilai, norma dan kepentingan antarmanusia dan alam disekitarnya. (Fir)

11/08/2010

Solo Exhibition “The Order of Things” Akiq AW, Benda-Benda Saling Berinteraksi Membentuk Kemenarikan



“The Order of Things”, sebuah buku terkenal karya Michael Foucalt, pengusung paham Strukturalisme dalam kehidupan sosial dari Perancis itu diambil begitu saja oleh Akiq AW untuk dijadikan tema pameran tunggal fotografi pertamanya yang ia lakukan di MES 56 yang dihelat 28 agustus hingga 18 September mendatang.
Akq AW adalah salah satu pendiri MES pada tahun 2002 lalu. “The Order of Things”  adalah karya-karya fotografi yang menghadirkan obyek-obyek foto berupa benda-benda dalam banyak rupa dan bentuknya saling berinteraksi membentuk pola, kekacauan (chaos) atau saling berjajar (juxtaposisi)
Menurut Akiq, benda-benda dalam banyak rupa dan bentuk dengan medan jalan sebagai ruang pamernya itu amat menarik mata serta ingatan yang hadir sebagai ekspresi simbolik manusia atas nilai-nilai dan strategi bertahan mereka.
Interaksi benda-benda yang membentuk pola itu hadir bukan sebagai sesuatu yang tidak sengaja yang menyatakan tentang kisah manusia yang berjuang melawan, berkompromi dengan alam dan manusianya. Juga dengan teknologi. Itu yang Akiq sampaikan dalam wawancara sebelum pembukana pameran.
“Menyoroti bangunan depan rumah, bangunan bentuk itu masuk dalam obyek yang ada sehingga membentuk sesuatu yang menarik. Ini adalah ekspresi simbolik manusia antara berkompromi atau melawan teknologi tapi akhirnya memilih berkompromi,” kata seniman kelahiran Kediri ini.
Kemunculan benda-benda itu, kata Akiq, barangkali mengundang pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu untuk dijawab namun amat menarik untuk dipikirkan bagaimana benda-benda itu muncul dan bisa dimanfaatkan sebagai obyek foto.
“Saya mengambilnya secara snapshot, melatih kepekaan melihat bentuk-bentuk aneh, menelusuri keanehan, melihat langsung semua (bentuk itu) dipinggir jalan,” kata Akiq seraya menambahkan tak ada obyek manusia dalam karya-karya foto yang ia pamerkan ini.
43 karya
Akiq AW memamerkan 43 karya fotografi dengan ukuran-ukuran yang cukup bervariasi mulai dari ukuran terkecil 20cm x 20 xm hingga terbesar 90 cm x 90 cm. Karya-karya Akiq adalah karya-karya pribadi  yang dikoleksi dari 2008-2010 ada beberapa juga dibuat tahun 2006.
“Sebagian besar foto-foto ini saya buat di Yogyakarta tapi juga beberapa dihasilkan di tempat lain seperti di Kopeng, Muntilan dan Kediri,” kata lulusan jurusan komunikasi FISIPOL UGM ini.
Memperhatikan karya-karya foto yang dipamerkan Akiq bisa dimunculkan pemikiran, 43 karya fotografi Akiq akhirnya menjadi karya-karya yang sangat personal dalam melihat keanehan-keanehan interaksi antarbenda yang ditemuinya dalam 2 tahun terakhir ini.
Memang karya-karya Akiq sangat mengundang pertanyaan bagi penonton karya fotonya. Lebih dari itu, foto-foto Akiq sebenarnya mampu mengajak penonton untuk serius berfikir tentang interaksi antarbenda.
Dalam kary foto yang menampilkan benda dalam wujud tumbuhan dengan benda berwujud seng dimana seolah-seolah tumbuhan itu seperti tumbuh dari dalam seng itu. Bentuk ‘biasa’ ini adalah wujud interaksi tumbuhan dengan seng yang menjalani waktu ‘hidup’ mereka masing-masing.
Sebuah bentuk juxtaposisi yang apik hadir dalam karya foto Akiq yang menampilkan hamparan tumbuhan padi yang sudah menguning yang akibat terpaan angin kencang dan air hujan yang kuat sehingga rimbunan tumbuhan padi itu harus rubuh. Alam kemudian bisa menjadi alasan mengapa bentuk juxtaposisi apik ini hadir dan dipotret Akiq sebagai sebuah tatanan sesuatu.
Ekspresi manusia atas benda-benda nampak sangat jelas hadir dalam karya foto yang mengetengahkan bentuk ranting serta daun sebuah pohon yang ditata sedemikian rupa oleh tangan manusia dengan menggunakan peralatan (teknologi).
Ranting dan daun-daun itu dibentuk menjadi aneka macam bulatan ranting dan daun yang berada di sisi dalam sebuah pagar rumah dan ketika Akiq mengambilnya sebagai bahan jepretan kameranya dari posisi luar pagar agak jauh, bentuk-bentuk bulatan beraneka rupa itu tampak menarik.
Semua karya fotografi yang dipamerkan Akiq memberi pemahaman besar bagi para pengunjung, bahwa interaksi benda-benda yang membentuk pola itu adalah ajakan untuk berfikir tentang kekinian yang terjadi. Juga sebuah keberlanjutan cara pandang terhadap prinsip, nilai, norma dan kepentingan antarmanusia dan alam disekitarnya.(The Real Jogja/joe)

10/08/2010

Akiq AW Gelar Pameran Foto Tunggal

Joko Widiyarso - GudegNet | Selasa, 7 September 2010, 11:54 WIB | Link: http://gudeg.net/id/news/2010/09/5925/Akiq-AW-Gelar-Pameran-Foto-Tunggal.html


Akiq AW, salah satu anggota MES 56 pada tahun 2002 lalu, menggelar pameran foto tunggalnya 'The Order of Things' pada 28 Agustus hingga 18 September mendatang di MES 56. 

Pada pameran tersebut, Akiq setidaknya memamerkan sebanyak 43 karya fotografi dengan ukuran-ukuran yang cukup bervariasi mulai dari ukuran terkecil 20cm x 20 xm hingga terbesar 90 cm x 90 cm. Karya-karya tersebut adalah karya-karya pribadi  yang dikoleksi dari 2008-2010 ada beberapa juga dibuat tahun 2006.

"Sebagian besar foto-foto ini saya buat di Yogyakarta tapi juga beberapa dihasilkan di tempat lain seperti di Kopeng, Muntilan dan Kediri," ujarnya di MES 56, Selasa (7/9).

Memperhatikan karya-karya foto yang dipamerkan Akiq bisa dimunculkan pemikiran, 43 karya fotografi Akiq akhirnya menjadi karya-karya yang sangat personal dalam melihat keanehan-keanehan interaksi antarbenda yang ditemuinya dalam dua tahun terakhir ini.

Memang karya-karya Akiq sangat mengundang pertanyaan bagi penonton karya fotonya. Lebih dari itu, foto-foto Akiq sebenarnya mampu mengajak penonton untuk serius berfikir tentang interaksi antarbenda.

Dalam karya foto yang menampilkan benda dalam wujud tumbuhan dengan benda berwujud seng dimana seolah-seolah tumbuhan itu seperti tumbuh dari dalam seng itu. Bentuk 'biasa' ini adalah wujud interaksi tumbuhan dengan seng yang menjalani waktu 'hidup' mereka masing-masing.

Ekspresi manusia atas benda-benda nampak sangat jelas hadir dalam karya foto yang mengetengahkan bentuk ranting serta daun sebuah pohon yang ditata sedemikian rupa oleh tangan manusia dengan menggunakan peralatan (teknologi).

Ranting dan daun-daun itu dibentuk menjadi aneka macam bulatan ranting dan daun yang berada di sisi dalam sebuah pagar rumah dan ketika Akiq mengambilnya sebagai bahan jepretan kameranya dari posisi luar pagar agak jauh, bentuk-bentuk bulatan beraneka rupa itu tampak menarik.

Semua karya fotografi yang dipamerkan Akiq memberi pemahaman besar bagi para pengunjung, bahwa interaksi benda-benda yang membentuk pola itu adalah ajakan untuk berfikir tentang kekinian yang terjadi.

Pameran yang mengambil judul dari buku karya Foucalt dengan judul yang sama tersebut menghadirkan obyek-obyek foto berupa benda-benda dalam banyak rupa dan bentuknya saling berinteraksi membentuk pola, kekacauan (chaos) atau saling berjajar (juxtaposisi).

Menurut Akiq, benda-benda dalam banyak rupa dan bentuk dengan medan jalan sebagai ruang pamernya itu amat menarik mata serta ingatan yang hadir sebagai ekspresi simbolik manusia atas nilai-nilai dan strategi bertahan mereka.

Interaksi benda-benda yang membentuk pola itu hadir bukan sebagai sesuatu yang tidak sengaja yang menyatakan tentang kisah manusia yang berjuang melawan, berkompromi dengan alam dan manusianya. Juga dengan teknologi. 

"Menyoroti bangunan depan rumah, bangunan bentuk itu masuk dalam obyek yang ada sehingga membentuk sesuatu yang menarik. Ini adalah ekspresi simbolik manusia antara berkompromi atau melawan teknologi tapi akhirnya memilih berkompromi," kata lulusan jurusan komunikasi Fisipol UGM ini.

Kemunculan benda-benda itu, menurut Akiq, barangkali mengundang pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu untuk dijawab namun amat menarik untuk dipikirkan bagaimana benda-benda itu muncul dan bisa dimanfaatkan sebagai obyek foto.

"Saya mengambilnya secara snapshot, melatih kepekaan melihat bentuk-bentuk aneh, menelusuri keanehan, melihat langsung semua bentuk itu di pinggir jalan," terangnya.