12/26/2011

In Between


Di balik gambar-gambar yang sederhana tapi indah ini, sebenarnya terdapat kerumitan yang aku temukan setelah banyak mendiskusikannya dengan kolega-kolegaku di MES 56. Karya-karya Kurniadi Widodo bukanlah hal baru, jika kita perhatikan bagaimana pilihan subject matter dan teknik-artistiknya. Orang akan membandingkannya dengan karya-karya Agung Nugroho Widhi, Paul Kadarisman, dan termasuk dengan beberapa karya awalku. Itu sah dan beralasan untuk membandingkannya. Namun, sebagai kurator dalam pameran ini, aku akan memberikan gambaran tentang kerumitan yang aku nyatakan diatas, yang nantinya akan memberikan pemahaman kepada kita mengapa karya-karya Kurniadi Widodo ini berbeda. 


1.
Jika kita lihat arsip digital Kurniadi Widodo, maka kita akan menemukan 2 koper besar yang berisi 2 kecenderungan yang berbeda, yang ternyata secara berbarengan dipraktekkan olehnya hingga sekarang. Satu koper berisi karya-karya human interest, dengan moment-momen yang dia pilih secara menakjubkan; di koper lain adalah karya-karya bergaya tipologi modern ala Dusseldorf School, yang turunannya bisa anda lihat dalam pameran kali ini. Setelah aku amati dan berdiskusi dengannya, kedua gaya ini memiliki kesamaan pada bagaimana ia menggunakan salah satu fitur terkuat dari fotografi, yaitu framing. Jika dalam karya-karya berobyek manusia-peristiwa yang berbasis momen ia mengeksploitasi framing fotografi secara time framing, maka dalam karya yang lainnya ia menggunakan space framing. Dalam time framing, ia akan mengamati peristiwa, menemukan alurnya, dan memutuskan kapan ia harus merekamnya. Sebuah momen dia pilih untuk dimasukkan ke dalam frame sedangkan momen yang lain akan ia tinggalkan. Sedangkan space framing merujuk pada praktek framing yang mengacu pada satuan ruang yang harus ia negosiasikan, antara dunia nyata yang ada didepannya dengan frame fotografis sebagai ruang kerjanya. Space framing ini merupakan framing sebagaimana yang dipahami umum selama ini.


Khusus untuk karya-karya yang ada dalam pameran ‘In Between’ ini, aku melihat bahwa praktek framing yang ia lakukan merupakan kunci yang membedakannya dengan karya-karya yang dihasilkan fotografer lain. Dalam prakteknya, Kurniadi Widodo tidak mendasarkan diri pada hubungan-hubungan antar obyek yang terberikan, bahwa kenyataan tidak dia rekam sebagaimana adanya. Dialah yang mengatur hubungan-hubungan antar benda tersebut. Coba amati bagaimana ia dengan sengaja mengambil angle tertentu sehingga sebuah tugu dan kebun jagung menjadi sebuah peristiwa baru yang seolah memiliki hubungan; atau bagaimana sebuah gambar kuda di tembok, kabel listrik dan bayangannya, dan batang-batang pohon menjadi sebuah kesatuan peristiwa. Dari kedua gambar diatas, kita bisa nyatakan bahwa hubungan-hubungan yang terjadi tidaklah ada begitu saja, tapi dengan sengaja diberikan dan dinyatakan oleh fotografernya. Begitupun jika kita liat pada karya-karya lainnya; kita akan minimal menyadari bahwa ada upaya aktif dari fotografernya untuk memberikan sebuah pemahaman baru atas kenyataan yang ia rekam tersebut.


Lalu kemudian muncul pertanyaan: Kan karya-karya fotografer lain juga seperti itu? Memberikan pemahaman dan atau hubungan-hubungan baru atas sebuah fenomena yang ia rekam? Lalu dimana letak perbedaanya? Menurutku, letak perbedaannya adalah pada bagaimana hubungan-hubungan itu dibangun. Banyak sekali seniman yang membangun penyataan tdk dalam skala satuan gambar, tapi pada skala antar gambar. Maksudnya, asumsi yang dibangun si seniman berlandaskan pada hubungan antara foto satu dengan foto yang lainnya, yang kemudian dia nyatakan sebagai sebuah kebenaran atau pemahaman baru yang ia ajukan. Sebaliknya, Kurniadi Widodo melakukannya dalam satuan gambar, artinya ia menyusun hubungan-hubungan antar obyek itu ketika memutuskan dari sudut mana dan dengan teknik apa ia akan merekamnya. Peristiwa atau hubungan baru antar obyek yang ia bangun ada dalam tiap-tiap gambar yang ia hasilkan. Karya dalam ‘In Between’ ini mampu secara mandiri berdiri sendiri, karena premis dari si seniman telah ada dalam setiap gambar yang ada dalam pameran ini.


2
Pilihan pada Kurniadi Widodo sebagai Legal Artist #3 didasarkan pada pemahaman bahwa kedepannya, karya-karya seperti ini akan tetap memiliki ruang pengembangan dan apresiasi yang cukup besar. Jika aku lihat beberapa tahun terakhir, memang ada beberapa anak muda yang memiliki gaya seperti ini namun menurutku tidak cukup konsisten sehingga tidak menghasilkan sebuah karya utuh yang bisa dipertanggung jawabkan di depan publik. Kurniadi Widodo memiliki konsistensi, meski sebenarnya ia masih dalam proses mencari gaya dia sendiri.


Mungkin perlu juga aku berikan sedikit gambaran bahwa Program Legal Artist ini tidak melulu soal seniman muda berbakat atau karya yang bagus, namun lebih jauh menuntut bahwa artist dan karya yang di pamerkannya harus memiliki kekuatan di inovasi, tradisi dan masa depan. Yang di pertimbangkan adalah bahwa praktek kesenian yang dijalankan memiliki akar yang kuat serta memiliki kemungkinan pengembangan, baik dari sisi wacana hingga teknik-artistiknya. Sedangkan inovasi yang aku maksud adalah pada penemuan cara-cara baru, subject matter serta estetika-estetika baru. In Between dalam presentasinya mencoba meyakinkan publik, bahwa keraguan utk menjadikan karya seni lebih fungsional bisa diatasi  dengan cara yang cerdas. Pilihan untuk menjadikan karya-karya dalam In Between ini menjadi wallpaper sebenarnya berangkat dari pemahaman bahwa teknologi dan material wallpaper ini udah jamak, dan kemungkinan-kemungkinan aplikasinya dalam fotografi juga bukan barang baru. Persoalannya hanya perlu mencari kemungkinan-kemungkinan artistik yang sesuai, disini Legal Artist Series memberikan penegasan bahwa teknik dan material ini acceptable...  anda sendiri bisa menilainya.


Judul pameran ‘In Between’ mencerminkan posisi seniman dalam alur kerja dan apresiasi karyanya, dimana ia berada diantara  kenyataan sebagaimana yang dikenal, dengan kenyataan fotografis yang ia nyatakan ke publik. Ia menjadi agen atas agenda dia sendiri. Selain itu, ‘In Between’ juga menggambarkan bahwa sebagai sebuah ungkapan, karya-karya fotografi selalu mengalami perubahan; pertentangan, negosiasi dan kompromi. Karena pada dasarnya, gambar-gambar itu tak berarti apa-apa. Manusialah yang memberikan makna, mencari arti untuk mengerti. 


Akhirnya, selamat menikmati. Salam.


Akiq AW


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini adalah pengantar kuratorial dalam Pameran:
LEGAL ARTIST SERIES #3

Artist | Kurniadi Widodo
Opening | 27 Dec 2011 | 19:00 WIB | 7 pm
Venue | Rumah Kelas Pagi Yogyakarta Jl. Brigjen. Katamso - Prawirodirjan MG II /1226 Yogyakarta
Performance by in between magician: Kadir Risqiano
Exhibition I 28 Dec 2011 - 10 Jan 2012
Conversation | 7 Jan 2011 | 16:00 WIB | 4 pm
Programmer | Ruang MES 56  




12/07/2011

Karim Raslan: Biennale Bravado

Jakarta Globe | December 1st 2011 | Links: http://www.thejakartaglobe.com/opinion/karim-raslan-biennale-bravado/481847


A blurry video in a darkened room, a small ficus bush and a partially obscured screen. Akiq Aw’s exploration of the shadowy world between faiths is both haunting and yet strangely banal as a nondescript and unremarkable man recounts his personal journey from Islam to Christianity. Later a woman describes her path in the opposite direction. 

In another room, similarly darkened, the artist Krisnamurti has placed a jilbab-wearing woman on the floor. A video is projected across her body. We look on as the ebb and flow of the tide appears to course over her silent, unmoving form. Meanwhile, the near-deafening soundtrack of water crashing on the shore is likewise mesmerizing. 

In yet another room, the Indian artist N.S. Harsha has splattered paint on the raw concrete. It’s a diagonal gash that seems to represent both an artist at work (pace Jackson Pollock) as well as Creation itself, as the Big Bang unfurls across the cosmos. 

Contemporary art biennales are often an exercise in confusion and dysfunctionality: strange installations, incoherent videos and ugly paintings, reveling in their manifest lack of artistry. But while the recently opened Jogja Biennale (the city’s 11th) has its fair share of non sequiturs, the event is held together by an unflinching curatorial focus, namely the decision to highlight only two countries — India and Indonesia — and one theme: religiosity. 

The ensuing result is an exciting and eye-opening survey of art and contemporary concerns from two of Asia’s largest nations: one predominantly Hindu, the other Muslim, and both avowedly secular. 

Interestingly, the art from both countries is resolutely centrist and plural. Fears of and concerns about extremism and bigotry are interspersed with pleas for tolerance and mutual understanding with a sideways glance at the gradual erosion and disappearance of the traditional, local myths and folklore. To my mind (but maybe I’m biased since I’ve long been one of the Biennale’s supporters) the ambitiousness and sheer bravado of the venture is quite enthralling. 

I like the way that artists, writers and curators from both countries have come together, dispensing with the accepted metropolitan centers of validation and supposed excellence. London, Paris and New York are forgotten as the art displayed creates its own intriguing linkages and juxtapositions between Yogyakarta, Jakarta, Mumbai, Mysore and Delhi. 

According to the director of the Biennale Foundation running the operations, the next Biennale will focus on an Arab nation. As Egypt goes through the throes of its own “reformasi,” I only hope that it’ll be the chosen country, providing a fascinating counterpoint to Indonesia. 

Of course, the bonds between India and Indonesia will be hard to equal. The ties between the two are profound and deep — deeper indeed than the bonds that link Indonesia with China. Moreover, on the south-facing plains of Central Java with Mount Merapi as a silent sentinel, the historical and cultural traces of the relationship — Prambanan and Borobudur — remain as haunting presences of an interaction that has spanned the millennia. 

In more modern times, India and Indonesia supported each other’s independence movements. Furthermore, in the 1950s and ’60s, Sukarno and Jawaharlal Nehru were the twin pillars of the Non-Aligned Movement. Now, after decades of less intense relations, India and Indonesia are fast regaining interest in each other, as the Biennale demonstrates. 

While I’m not sure if the artists themselves realize it, the Biennale suggests that India and Indonesia mean to also assert themselves both culturally and economically. This is going to be the beginning of a marked increase in engagement between the two Asian giants. Recognizing this trend, the Biennale’s organizers made a big point about stressing the documentary aspects of the collaboration and the need to increase Indonesian understanding of India. 

Still, the real surprise was the enormous number of art lovers at the Biennale’s opening night. With literally thousands of people cramming into the Jogja National Museum (most of them young students) the city displayed its dynamism and openness to the arts. As the Indian co-curator Suman Gopinath told me, “The sheer number of people is amazing. Besides that, the Biennale shows what you can achieve with limited funds and infrastructure.” 

The Jogja National Museum is not the Guggenheim or the Tate Modern. Nonetheless, it has both the art and the audience, an audience that believes in the centrality of human expression and creativity. 


Karim Raslan is a columnist who divides his time between Malaysia and Indonesia.


This article also published at Asia Sentinel | http://www.asiasentinel.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3998&Itemid=203

Anachronic Sculpture: A Typology of Indonesian Structure