7/06/2011

New Folder


New Folder | Aderi Putra Wicaksono, Andri William, Arief Pristianto, Yudha Kusuma PutraInkubator Asia | 4 - 25 Juni 2011
1.
I intend to separate the four New Folder series into two categories, based on the model that the photographer has taken as he approaches reality and ideas. The first category is based on the model of performative photography as represented by Arif’s and Aderi’s works. Meanwhile, the second model is that of the staged photography (arranged or set photography), represented by the series of works created by Yudha Fehung and Andri Abud. At first glance, the two methods seem similar; what differentiates them is the level of the photographer’s intervention and the relationship between the photo object and reality.
In performative photography, the artist engineered an event that virtually has no comparison in everyday reality, creating certain fiction or metaphor as a vehicle for the idea that the artist wants to convey. The artist commands full authority on the objects within the frame of his or her camera. In Arif’s “Invisible” series, we are able to witness his involvement and efforts to shape reality. We are thus reminded of Liu Bolin, the Invisible Man, who with exactly the same technique makes himself disappears before the development jargons of the Chinese government. Bolin’s works are highly political and widely known; one would often regard such camouflage technique as identical with the artist himself.
Technically, Arif’s and Bolin’s works are not significantly different. As a method or technique existing in the public domain, Bolin’s camouflage has become a generic pattern that other artists can also use. The difference between Arif’s and Bolin’s works lies in the idea of invisibility itself. Bolin’s Hiding in the City talks about the disjuncture between lofty goals of the Chinese modernization projects and the people’s day-to-day reality; it is about how individuals become invisible before the jargons of the power that be. Meanwhile, what Arif wants to convey in his series is the experience of seeing and being seen within the society’s materialistic culture. The matter of being seen or unseen is not a physiological issue (of the vision or eyes), but is instead more about the construction of values and preference. Arif states that to be marginal is to be invisible. The person that Arif camouflages is seen in the context of others around him or her, and we thus have the trishaw driver, itinerant food seller, housewife. I have explained about Arif’s works in a rather detailed manner because they are related with the works of another artist, who happens to be very famous.
Another artist in this exhibition, Pungky, also employs the approach of the performative technique, by creating copies of animals and directing his models to mimic the gestures of certain animals. Here Pungky plays the role of a director-cum-choreographer, as he controls the gestures, shapes the anatomy, and sets the direction. The series constitutes a fictional work that Pungky makes in order to convey his unique perspective about the attitudes of human beings and animals. Events in these two series have no similarity in day-to-day reality, in which people do not play roles. It is purely a matter of fiction. The fictional event serves as a locomotive of sorts, taking with it a series of compartments of meanings trailing along behind it.
2.
In staged photography, meanwhile, events are engineered, arranged, and directed, not in order to create new events or fictional events, but rather to give emphasis or dramatization. The models appear as themselves, performing the dramas of their lives. The recorded events are real events, repeated by certain changes or additional elements. In Fehung’s works, the photograph of his mother and father represents an event in an arranged pose. The actors, however, play the roles as themselves, in real contexts and places. The gestures that Fehung has directed his models to show serve as an emphasis for the idea that he wants to convey. The events are not icons or metaphors carrying meaning outside of themselves. The same is true for the works by Abud, in which he records the similarities between certain individuals. He directs the models to wear the same clothes and strike the same poses. The portraits that he creates are still personal portraits of real people, nothing more and nothing less. The strength of these two series lies in their respective ability to create links with the audience’s experiences in regard to the presented events. People would go through the recesses of their memories to recall the experiences that might be similar with what has been presented in Fehung’s and Abud’s works.
3.
In the hands of contemporary artists, photography becomes a strong tool used to convey ideas, instead of merely to preserve memory. Its strength lies in its representational link with reality. The recorded events invariably become significant—they exist and are undeniable. We are always fascinated by the mysteries arising from the fact that a photograph does not necessarily convey the truth. That is the joy of photography.
Akiq AW
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1

Saya bermaksud untuk mengelompokkan keempat seri dalam New Folder ini menjadi dua kategori berdasarkan model pendekatan fotografer terhadap gagasan dan realitas; pertama adalah fotografi performatif yang diwakili karya Arif dan Aderi. Pendekatan kedua adalah staged photography (fotografi yang dipentaskan, disetting atau diatur) yaitu seri dari Yudha Fehung dan Andri Abud. Sekilas, kedua model pendekatan ini memiliki metode yang nyaris sama; yang membedakan adalah level intervensi dan hubungan antara obyek dengan realitas.

Dalam fotografi performatif, seniman merekayasa sebuah peristiwa yang nyaris tidak ada padanannya dalam realitas sehari-hari; membentuk sebuah fiksi atau metafora tertentu sebagai kendaraan atas gagasan yang ingin ia kemukakan. Seniman memiliki kuasa penuh atas obyek-obyek yang ada dalam frame fotonya. Dalam seri ‘Invisible’ Arif, kita bisa melihat bagaimana campurtangan dia dalam membentuk kenyataan. Kita lalu teringat Liu Bolin,the Invisible Man; yang dengan teknik yang persis sama menghilangkan dirinya di depan jargon-jargon pembangunan pemerintah China. Karya Bolin merupakan karya yang sangat politis dan sangat dikenal; teknik kamuflase ini nyaris disamakan dengan Bolin sendiri. Secara teknis, antara karya Arif dan Bolin tidaklah memiliki perbedaan berarti. Sebagai metode atau teknik yang sudah berada di domain publik, kamuflase ala Bolin ini menjadi generik, yang bisa dimanfaatkan seniman lain untuk berkarya. Perbedaan antara Arif dan Bolin ada pada gagasan tentang invisible itu sendiri. ‘Hiding In The City’ nya Bolin membicarakan tentang tidak nyambungnya antara tujuan-tujuan besar proyek modernisasi China dengan kenyataan hidup rakyatnya sendiri; bahwa individu menjadi ‘invisible’ dihadapan jargon-jargon kekuasaan. Sedangkan yang ingin diungkap oleh Arif dalam serinya ini adalah pada bagaimana pengalaman melihat dan dilihat dalam kultur masyarakat yang materialistik. Terlihat tidak terlihat bukan persoalan fisik (mata), namun lebih pada konstruksi tentang nilai-nilai dan preferensi. Dia menyatakan bahwa menjadi marjinal itu berarti menjadi tak terlihat. Tokoh yang dikamuflase dalam karya Arif justru dibaca dari hubungannya dengan tokoh lain yang ada didekatnya; di situ ada tukang becak, penjual makanan keliling, ibu rumahtangga. Seri‘Invisible’ dari Arif ini memang sengaja saya berikan penjelasan agak lebar, karena ini berkaitan dengan karya seniman lain yang sangat terkenal.

 Pendekatan performatif juga dipraktekan Pungky dalam seri binatang-nya. Di sini ia membuat semacam tiruan binatang, dengan mengarahkan model-modelnya untuk membentuk anatomi binatang tertentu. Disini ia berperan sebagai sutradara dan koreografer, dimana gesture dikontrol, anatomi dibentuk dan arah disesuaikan. Seri dari Pungky ini merupakan sebuah fiksi, yang ia buat untuk mengungkapkan cara pandang dia yang terbilang unik atas perilaku manusia dan binatang. Peristiwa-peristiwa pada kedua seri diatas tentu saja tidak ada padanannya dalam realitas, dimana tokoh-tokoh tidak memerankan diri atau orang lain, ini hanyalah fiksi. Peristiwa rekaan ini menjadi semacam lokomotif yng membawa deretan gerbong makna lain dibelakangnya. Demikianlah menurut saya fotografi performatif.
2
Dalam staged photography, peristiwa direkayasa, ditata dan diarahkan, bukan membentuk sebuah peristiwa baru atau peristiwa fiksi, namun untuk memberi tekanan atau dramatisasi. Disini model memerankan diri mereka sendiri, mendramakan kehidupannya sendiri. Peristiwa yang direkam adalah peristiwa nyata yang diulang dengan perubahan atau penambahan unsur-unsur tertentu. Dalam karya Fehung, potret ibu dan bapaknya merupakan sebuah peristiwa yang ia pentaskan, ia posekan. Namun mereka berperan sebagai diri sendiri, dalam konteks dan tempat yang nyata. Gesture yang Fehung arahkan hanyalah sebuah tekanan atas maksud yang ia ingin nyatakan. Peristiwa itu bukanlah ikon atau metafora yang membawa makna diluar dirinya. Demikian pula dengan karya Abud, dimana ia mendokumentasikan fitur-fitur kesamaan antara beberapa individu. Ia memaksa mereka menggunakan baju yang sama sekaligus berpose sama pula. Potret yang dihasilkan tetap potret personal dari manusia-manusia nyata, tidak lebih tidak kurang. Kekuatan dari kedua seri ini adalah pada kemampuannya menghubungkan dirinya dengan pengalaman audiens atas peristiwa yang diungkapkan. Orang tentu saja akan membongkar ingatannya tentang pengalaman yang mungkin sama dengan yang ada dalam karya-karya Fehung dan Abud.
3
Sebagai sebuah medium, fotografi ternyata mampu untuk dibawa melebihi fungsi tradisionalnya, to preserve memory. Ditangan seniman kontemporer, fotografi menjadi sebuah tool yang sangat kuat untuk mengungkapkan gagasan. Kekuatannya terletak pada keterkaitan representasionalnya dengan realitas. Peristiwa yang terekam selalu menjadi penting- ia ada dan tidak terbantahkan, dan kita selalu takjub atas misteri yang muncul oleh kenyataan bahwa sebuah foto tidaklah sungguh benar. That’s the joy of a photograph.
Akiq AW