Long Live Shame!
12/26/2011
In Between
Di balik gambar-gambar yang sederhana tapi indah ini, sebenarnya terdapat kerumitan yang aku temukan setelah banyak mendiskusikannya dengan kolega-kolegaku di MES 56. Karya-karya Kurniadi Widodo bukanlah hal baru, jika kita perhatikan bagaimana pilihan subject matter dan teknik-artistiknya. Orang akan membandingkannya dengan karya-karya Agung Nugroho Widhi, Paul Kadarisman, dan termasuk dengan beberapa karya awalku. Itu sah dan beralasan untuk membandingkannya. Namun, sebagai kurator dalam pameran ini, aku akan memberikan gambaran tentang kerumitan yang aku nyatakan diatas, yang nantinya akan memberikan pemahaman kepada kita mengapa karya-karya Kurniadi Widodo ini berbeda.
1.
Jika kita lihat arsip digital Kurniadi Widodo, maka kita akan menemukan 2 koper besar yang berisi 2 kecenderungan yang berbeda, yang ternyata secara berbarengan dipraktekkan olehnya hingga sekarang. Satu koper berisi karya-karya human interest, dengan moment-momen yang dia pilih secara menakjubkan; di koper lain adalah karya-karya bergaya tipologi modern ala Dusseldorf School, yang turunannya bisa anda lihat dalam pameran kali ini. Setelah aku amati dan berdiskusi dengannya, kedua gaya ini memiliki kesamaan pada bagaimana ia menggunakan salah satu fitur terkuat dari fotografi, yaitu framing. Jika dalam karya-karya berobyek manusia-peristiwa yang berbasis momen ia mengeksploitasi framing fotografi secara time framing, maka dalam karya yang lainnya ia menggunakan space framing. Dalam time framing, ia akan mengamati peristiwa, menemukan alurnya, dan memutuskan kapan ia harus merekamnya. Sebuah momen dia pilih untuk dimasukkan ke dalam frame sedangkan momen yang lain akan ia tinggalkan. Sedangkan space framing merujuk pada praktek framing yang mengacu pada satuan ruang yang harus ia negosiasikan, antara dunia nyata yang ada didepannya dengan frame fotografis sebagai ruang kerjanya. Space framing ini merupakan framing sebagaimana yang dipahami umum selama ini.
Khusus untuk karya-karya yang ada dalam pameran ‘In Between’ ini, aku melihat bahwa praktek framing yang ia lakukan merupakan kunci yang membedakannya dengan karya-karya yang dihasilkan fotografer lain. Dalam prakteknya, Kurniadi Widodo tidak mendasarkan diri pada hubungan-hubungan antar obyek yang terberikan, bahwa kenyataan tidak dia rekam sebagaimana adanya. Dialah yang mengatur hubungan-hubungan antar benda tersebut. Coba amati bagaimana ia dengan sengaja mengambil angle tertentu sehingga sebuah tugu dan kebun jagung menjadi sebuah peristiwa baru yang seolah memiliki hubungan; atau bagaimana sebuah gambar kuda di tembok, kabel listrik dan bayangannya, dan batang-batang pohon menjadi sebuah kesatuan peristiwa. Dari kedua gambar diatas, kita bisa nyatakan bahwa hubungan-hubungan yang terjadi tidaklah ada begitu saja, tapi dengan sengaja diberikan dan dinyatakan oleh fotografernya. Begitupun jika kita liat pada karya-karya lainnya; kita akan minimal menyadari bahwa ada upaya aktif dari fotografernya untuk memberikan sebuah pemahaman baru atas kenyataan yang ia rekam tersebut.
Lalu kemudian muncul pertanyaan: Kan karya-karya fotografer lain juga seperti itu? Memberikan pemahaman dan atau hubungan-hubungan baru atas sebuah fenomena yang ia rekam? Lalu dimana letak perbedaanya? Menurutku, letak perbedaannya adalah pada bagaimana hubungan-hubungan itu dibangun. Banyak sekali seniman yang membangun penyataan tdk dalam skala satuan gambar, tapi pada skala antar gambar. Maksudnya, asumsi yang dibangun si seniman berlandaskan pada hubungan antara foto satu dengan foto yang lainnya, yang kemudian dia nyatakan sebagai sebuah kebenaran atau pemahaman baru yang ia ajukan. Sebaliknya, Kurniadi Widodo melakukannya dalam satuan gambar, artinya ia menyusun hubungan-hubungan antar obyek itu ketika memutuskan dari sudut mana dan dengan teknik apa ia akan merekamnya. Peristiwa atau hubungan baru antar obyek yang ia bangun ada dalam tiap-tiap gambar yang ia hasilkan. Karya dalam ‘In Between’ ini mampu secara mandiri berdiri sendiri, karena premis dari si seniman telah ada dalam setiap gambar yang ada dalam pameran ini.
2
Pilihan pada Kurniadi Widodo sebagai Legal Artist #3 didasarkan pada pemahaman bahwa kedepannya, karya-karya seperti ini akan tetap memiliki ruang pengembangan dan apresiasi yang cukup besar. Jika aku lihat beberapa tahun terakhir, memang ada beberapa anak muda yang memiliki gaya seperti ini namun menurutku tidak cukup konsisten sehingga tidak menghasilkan sebuah karya utuh yang bisa dipertanggung jawabkan di depan publik. Kurniadi Widodo memiliki konsistensi, meski sebenarnya ia masih dalam proses mencari gaya dia sendiri.
Mungkin perlu juga aku berikan sedikit gambaran bahwa Program Legal Artist ini tidak melulu soal seniman muda berbakat atau karya yang bagus, namun lebih jauh menuntut bahwa artist dan karya yang di pamerkannya harus memiliki kekuatan di inovasi, tradisi dan masa depan. Yang di pertimbangkan adalah bahwa praktek kesenian yang dijalankan memiliki akar yang kuat serta memiliki kemungkinan pengembangan, baik dari sisi wacana hingga teknik-artistiknya. Sedangkan inovasi yang aku maksud adalah pada penemuan cara-cara baru, subject matter serta estetika-estetika baru. In Between dalam presentasinya mencoba meyakinkan publik, bahwa keraguan utk menjadikan karya seni lebih fungsional bisa diatasi dengan cara yang cerdas. Pilihan untuk menjadikan karya-karya dalam In Between ini menjadi wallpaper sebenarnya berangkat dari pemahaman bahwa teknologi dan material wallpaper ini udah jamak, dan kemungkinan-kemungkinan aplikasinya dalam fotografi juga bukan barang baru. Persoalannya hanya perlu mencari kemungkinan-kemungkinan artistik yang sesuai, disini Legal Artist Series memberikan penegasan bahwa teknik dan material ini acceptable... anda sendiri bisa menilainya.
Judul pameran ‘In Between’ mencerminkan posisi seniman dalam alur kerja dan apresiasi karyanya, dimana ia berada diantara kenyataan sebagaimana yang dikenal, dengan kenyataan fotografis yang ia nyatakan ke publik. Ia menjadi agen atas agenda dia sendiri. Selain itu, ‘In Between’ juga menggambarkan bahwa sebagai sebuah ungkapan, karya-karya fotografi selalu mengalami perubahan; pertentangan, negosiasi dan kompromi. Karena pada dasarnya, gambar-gambar itu tak berarti apa-apa. Manusialah yang memberikan makna, mencari arti untuk mengerti.
Akhirnya, selamat menikmati. Salam.
Akiq AW
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini adalah pengantar kuratorial dalam Pameran:
LEGAL ARTIST SERIES #3
Artist | Kurniadi Widodo
Opening | 27 Dec 2011 | 19:00 WIB | 7 pm
Venue | Rumah Kelas Pagi Yogyakarta Jl. Brigjen. Katamso - Prawirodirjan MG II /1226 Yogyakarta
Performance by in between magician: Kadir Risqiano
Exhibition I 28 Dec 2011 - 10 Jan 2012
Conversation | 7 Jan 2011 | 16:00 WIB | 4 pm
Programmer | Ruang MES 56
12/07/2011
Karim Raslan: Biennale Bravado
Jakarta Globe | December 1st 2011 | Links: http://www.thejakartaglobe.com/opinion/karim-raslan-biennale-bravado/481847
A blurry video in a darkened room, a small ficus bush and a partially obscured screen. Akiq Aw’s exploration of the shadowy world between faiths is both haunting and yet strangely banal as a nondescript and unremarkable man recounts his personal journey from Islam to Christianity. Later a woman describes her path in the opposite direction.
In another room, similarly darkened, the artist Krisnamurti has placed a jilbab-wearing woman on the floor. A video is projected across her body. We look on as the ebb and flow of the tide appears to course over her silent, unmoving form. Meanwhile, the near-deafening soundtrack of water crashing on the shore is likewise mesmerizing.
In yet another room, the Indian artist N.S. Harsha has splattered paint on the raw concrete. It’s a diagonal gash that seems to represent both an artist at work (pace Jackson Pollock) as well as Creation itself, as the Big Bang unfurls across the cosmos.
Contemporary art biennales are often an exercise in confusion and dysfunctionality: strange installations, incoherent videos and ugly paintings, reveling in their manifest lack of artistry. But while the recently opened Jogja Biennale (the city’s 11th) has its fair share of non sequiturs, the event is held together by an unflinching curatorial focus, namely the decision to highlight only two countries — India and Indonesia — and one theme: religiosity.
The ensuing result is an exciting and eye-opening survey of art and contemporary concerns from two of Asia’s largest nations: one predominantly Hindu, the other Muslim, and both avowedly secular.
Interestingly, the art from both countries is resolutely centrist and plural. Fears of and concerns about extremism and bigotry are interspersed with pleas for tolerance and mutual understanding with a sideways glance at the gradual erosion and disappearance of the traditional, local myths and folklore. To my mind (but maybe I’m biased since I’ve long been one of the Biennale’s supporters) the ambitiousness and sheer bravado of the venture is quite enthralling.
I like the way that artists, writers and curators from both countries have come together, dispensing with the accepted metropolitan centers of validation and supposed excellence. London, Paris and New York are forgotten as the art displayed creates its own intriguing linkages and juxtapositions between Yogyakarta, Jakarta, Mumbai, Mysore and Delhi.
According to the director of the Biennale Foundation running the operations, the next Biennale will focus on an Arab nation. As Egypt goes through the throes of its own “reformasi,” I only hope that it’ll be the chosen country, providing a fascinating counterpoint to Indonesia.
Of course, the bonds between India and Indonesia will be hard to equal. The ties between the two are profound and deep — deeper indeed than the bonds that link Indonesia with China. Moreover, on the south-facing plains of Central Java with Mount Merapi as a silent sentinel, the historical and cultural traces of the relationship — Prambanan and Borobudur — remain as haunting presences of an interaction that has spanned the millennia.
In more modern times, India and Indonesia supported each other’s independence movements. Furthermore, in the 1950s and ’60s, Sukarno and Jawaharlal Nehru were the twin pillars of the Non-Aligned Movement. Now, after decades of less intense relations, India and Indonesia are fast regaining interest in each other, as the Biennale demonstrates.
While I’m not sure if the artists themselves realize it, the Biennale suggests that India and Indonesia mean to also assert themselves both culturally and economically. This is going to be the beginning of a marked increase in engagement between the two Asian giants. Recognizing this trend, the Biennale’s organizers made a big point about stressing the documentary aspects of the collaboration and the need to increase Indonesian understanding of India.
Still, the real surprise was the enormous number of art lovers at the Biennale’s opening night. With literally thousands of people cramming into the Jogja National Museum (most of them young students) the city displayed its dynamism and openness to the arts. As the Indian co-curator Suman Gopinath told me, “The sheer number of people is amazing. Besides that, the Biennale shows what you can achieve with limited funds and infrastructure.”
The Jogja National Museum is not the Guggenheim or the Tate Modern. Nonetheless, it has both the art and the audience, an audience that believes in the centrality of human expression and creativity.
Karim Raslan is a columnist who divides his time between Malaysia and Indonesia.
This article also published at Asia Sentinel | http://www.asiasentinel.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3998&Itemid=203
A blurry video in a darkened room, a small ficus bush and a partially obscured screen. Akiq Aw’s exploration of the shadowy world between faiths is both haunting and yet strangely banal as a nondescript and unremarkable man recounts his personal journey from Islam to Christianity. Later a woman describes her path in the opposite direction.
In another room, similarly darkened, the artist Krisnamurti has placed a jilbab-wearing woman on the floor. A video is projected across her body. We look on as the ebb and flow of the tide appears to course over her silent, unmoving form. Meanwhile, the near-deafening soundtrack of water crashing on the shore is likewise mesmerizing.
In yet another room, the Indian artist N.S. Harsha has splattered paint on the raw concrete. It’s a diagonal gash that seems to represent both an artist at work (pace Jackson Pollock) as well as Creation itself, as the Big Bang unfurls across the cosmos.
Contemporary art biennales are often an exercise in confusion and dysfunctionality: strange installations, incoherent videos and ugly paintings, reveling in their manifest lack of artistry. But while the recently opened Jogja Biennale (the city’s 11th) has its fair share of non sequiturs, the event is held together by an unflinching curatorial focus, namely the decision to highlight only two countries — India and Indonesia — and one theme: religiosity.
The ensuing result is an exciting and eye-opening survey of art and contemporary concerns from two of Asia’s largest nations: one predominantly Hindu, the other Muslim, and both avowedly secular.
Interestingly, the art from both countries is resolutely centrist and plural. Fears of and concerns about extremism and bigotry are interspersed with pleas for tolerance and mutual understanding with a sideways glance at the gradual erosion and disappearance of the traditional, local myths and folklore. To my mind (but maybe I’m biased since I’ve long been one of the Biennale’s supporters) the ambitiousness and sheer bravado of the venture is quite enthralling.
I like the way that artists, writers and curators from both countries have come together, dispensing with the accepted metropolitan centers of validation and supposed excellence. London, Paris and New York are forgotten as the art displayed creates its own intriguing linkages and juxtapositions between Yogyakarta, Jakarta, Mumbai, Mysore and Delhi.
According to the director of the Biennale Foundation running the operations, the next Biennale will focus on an Arab nation. As Egypt goes through the throes of its own “reformasi,” I only hope that it’ll be the chosen country, providing a fascinating counterpoint to Indonesia.
Of course, the bonds between India and Indonesia will be hard to equal. The ties between the two are profound and deep — deeper indeed than the bonds that link Indonesia with China. Moreover, on the south-facing plains of Central Java with Mount Merapi as a silent sentinel, the historical and cultural traces of the relationship — Prambanan and Borobudur — remain as haunting presences of an interaction that has spanned the millennia.
In more modern times, India and Indonesia supported each other’s independence movements. Furthermore, in the 1950s and ’60s, Sukarno and Jawaharlal Nehru were the twin pillars of the Non-Aligned Movement. Now, after decades of less intense relations, India and Indonesia are fast regaining interest in each other, as the Biennale demonstrates.
While I’m not sure if the artists themselves realize it, the Biennale suggests that India and Indonesia mean to also assert themselves both culturally and economically. This is going to be the beginning of a marked increase in engagement between the two Asian giants. Recognizing this trend, the Biennale’s organizers made a big point about stressing the documentary aspects of the collaboration and the need to increase Indonesian understanding of India.
Still, the real surprise was the enormous number of art lovers at the Biennale’s opening night. With literally thousands of people cramming into the Jogja National Museum (most of them young students) the city displayed its dynamism and openness to the arts. As the Indian co-curator Suman Gopinath told me, “The sheer number of people is amazing. Besides that, the Biennale shows what you can achieve with limited funds and infrastructure.”
The Jogja National Museum is not the Guggenheim or the Tate Modern. Nonetheless, it has both the art and the audience, an audience that believes in the centrality of human expression and creativity.
Karim Raslan is a columnist who divides his time between Malaysia and Indonesia.
This article also published at Asia Sentinel | http://www.asiasentinel.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3998&Itemid=203
8/06/2011
On Photographic Time and Motion
On Photographic Time and Motion
Akiq AW | 2010
“On Photographic Time and Motion” examines the complexity of photo and video processes, and the putative boundaries between these mediums. ‘Process’ here refers to both the capture of a reality by the observer / artist using the recorder, and its presentation before the audience. In particular, this work focuses on the logic of photography, in the tension between moving and still images. In the past, to capture movement, photographers created works with slow speeds or multiple exposures, producing images that appeared to be moving; but in fact movement with duration could not be presented due to the medium’s limitations. With the invention of digital cameras and digital photo frames, technological barriers have disappeared; photography can now show a sequence of motion over a certain duration. Another issue is the boundary between photography and video. In this work, the observer is always in a fixed position (as in photography), but the objects recorded show minor movements. This is photography that is videographic, and a video work that is photographic. “On Photographic Time and Motion” consist 3 works that represents traditions of photography and painting: portraiture, landscape and still life.
7/06/2011
New Folder
New Folder | Aderi Putra Wicaksono, Andri William, Arief Pristianto, Yudha Kusuma Putra | Inkubator Asia | 4 - 25 Juni 2011
1.
I intend to separate the four New Folder series into two categories, based on the model that the photographer has taken as he approaches reality and ideas. The first category is based on the model of performative photography as represented by Arif’s and Aderi’s works. Meanwhile, the second model is that of the staged photography (arranged or set photography), represented by the series of works created by Yudha Fehung and Andri Abud. At first glance, the two methods seem similar; what differentiates them is the level of the photographer’s intervention and the relationship between the photo object and reality.
I intend to separate the four New Folder series into two categories, based on the model that the photographer has taken as he approaches reality and ideas. The first category is based on the model of performative photography as represented by Arif’s and Aderi’s works. Meanwhile, the second model is that of the staged photography (arranged or set photography), represented by the series of works created by Yudha Fehung and Andri Abud. At first glance, the two methods seem similar; what differentiates them is the level of the photographer’s intervention and the relationship between the photo object and reality.
In performative photography, the artist engineered an event that virtually has no comparison in everyday reality, creating certain fiction or metaphor as a vehicle for the idea that the artist wants to convey. The artist commands full authority on the objects within the frame of his or her camera. In Arif’s “Invisible” series, we are able to witness his involvement and efforts to shape reality. We are thus reminded of Liu Bolin, the Invisible Man, who with exactly the same technique makes himself disappears before the development jargons of the Chinese government. Bolin’s works are highly political and widely known; one would often regard such camouflage technique as identical with the artist himself.
Technically, Arif’s and Bolin’s works are not significantly different. As a method or technique existing in the public domain, Bolin’s camouflage has become a generic pattern that other artists can also use. The difference between Arif’s and Bolin’s works lies in the idea of invisibility itself. Bolin’s Hiding in the City talks about the disjuncture between lofty goals of the Chinese modernization projects and the people’s day-to-day reality; it is about how individuals become invisible before the jargons of the power that be. Meanwhile, what Arif wants to convey in his series is the experience of seeing and being seen within the society’s materialistic culture. The matter of being seen or unseen is not a physiological issue (of the vision or eyes), but is instead more about the construction of values and preference. Arif states that to be marginal is to be invisible. The person that Arif camouflages is seen in the context of others around him or her, and we thus have the trishaw driver, itinerant food seller, housewife. I have explained about Arif’s works in a rather detailed manner because they are related with the works of another artist, who happens to be very famous.
Another artist in this exhibition, Pungky, also employs the approach of the performative technique, by creating copies of animals and directing his models to mimic the gestures of certain animals. Here Pungky plays the role of a director-cum-choreographer, as he controls the gestures, shapes the anatomy, and sets the direction. The series constitutes a fictional work that Pungky makes in order to convey his unique perspective about the attitudes of human beings and animals. Events in these two series have no similarity in day-to-day reality, in which people do not play roles. It is purely a matter of fiction. The fictional event serves as a locomotive of sorts, taking with it a series of compartments of meanings trailing along behind it.
2.
In staged photography, meanwhile, events are engineered, arranged, and directed, not in order to create new events or fictional events, but rather to give emphasis or dramatization. The models appear as themselves, performing the dramas of their lives. The recorded events are real events, repeated by certain changes or additional elements. In Fehung’s works, the photograph of his mother and father represents an event in an arranged pose. The actors, however, play the roles as themselves, in real contexts and places. The gestures that Fehung has directed his models to show serve as an emphasis for the idea that he wants to convey. The events are not icons or metaphors carrying meaning outside of themselves. The same is true for the works by Abud, in which he records the similarities between certain individuals. He directs the models to wear the same clothes and strike the same poses. The portraits that he creates are still personal portraits of real people, nothing more and nothing less. The strength of these two series lies in their respective ability to create links with the audience’s experiences in regard to the presented events. People would go through the recesses of their memories to recall the experiences that might be similar with what has been presented in Fehung’s and Abud’s works.
2.
In staged photography, meanwhile, events are engineered, arranged, and directed, not in order to create new events or fictional events, but rather to give emphasis or dramatization. The models appear as themselves, performing the dramas of their lives. The recorded events are real events, repeated by certain changes or additional elements. In Fehung’s works, the photograph of his mother and father represents an event in an arranged pose. The actors, however, play the roles as themselves, in real contexts and places. The gestures that Fehung has directed his models to show serve as an emphasis for the idea that he wants to convey. The events are not icons or metaphors carrying meaning outside of themselves. The same is true for the works by Abud, in which he records the similarities between certain individuals. He directs the models to wear the same clothes and strike the same poses. The portraits that he creates are still personal portraits of real people, nothing more and nothing less. The strength of these two series lies in their respective ability to create links with the audience’s experiences in regard to the presented events. People would go through the recesses of their memories to recall the experiences that might be similar with what has been presented in Fehung’s and Abud’s works.
3.
In the hands of contemporary artists, photography becomes a strong tool used to convey ideas, instead of merely to preserve memory. Its strength lies in its representational link with reality. The recorded events invariably become significant—they exist and are undeniable. We are always fascinated by the mysteries arising from the fact that a photograph does not necessarily convey the truth. That is the joy of photography.
Akiq AWIn the hands of contemporary artists, photography becomes a strong tool used to convey ideas, instead of merely to preserve memory. Its strength lies in its representational link with reality. The recorded events invariably become significant—they exist and are undeniable. We are always fascinated by the mysteries arising from the fact that a photograph does not necessarily convey the truth. That is the joy of photography.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1
Saya bermaksud untuk mengelompokkan keempat seri dalam New Folder ini menjadi dua kategori berdasarkan model pendekatan fotografer terhadap gagasan dan realitas; pertama adalah fotografi performatif yang diwakili karya Arif dan Aderi. Pendekatan kedua adalah staged photography (fotografi yang dipentaskan, disetting atau diatur) yaitu seri dari Yudha Fehung dan Andri Abud. Sekilas, kedua model pendekatan ini memiliki metode yang nyaris sama; yang membedakan adalah level intervensi dan hubungan antara obyek dengan realitas.
Dalam fotografi performatif, seniman merekayasa sebuah peristiwa yang nyaris tidak ada padanannya dalam realitas sehari-hari; membentuk sebuah fiksi atau metafora tertentu sebagai kendaraan atas gagasan yang ingin ia kemukakan. Seniman memiliki kuasa penuh atas obyek-obyek yang ada dalam frame fotonya. Dalam seri ‘Invisible’ Arif, kita bisa melihat bagaimana campurtangan dia dalam membentuk kenyataan. Kita lalu teringat Liu Bolin,the Invisible Man; yang dengan teknik yang persis sama menghilangkan dirinya di depan jargon-jargon pembangunan pemerintah China. Karya Bolin merupakan karya yang sangat politis dan sangat dikenal; teknik kamuflase ini nyaris disamakan dengan Bolin sendiri. Secara teknis, antara karya Arif dan Bolin tidaklah memiliki perbedaan berarti. Sebagai metode atau teknik yang sudah berada di domain publik, kamuflase ala Bolin ini menjadi generik, yang bisa dimanfaatkan seniman lain untuk berkarya. Perbedaan antara Arif dan Bolin ada pada gagasan tentang invisible itu sendiri. ‘Hiding In The City’ nya Bolin membicarakan tentang tidak nyambungnya antara tujuan-tujuan besar proyek modernisasi China dengan kenyataan hidup rakyatnya sendiri; bahwa individu menjadi ‘invisible’ dihadapan jargon-jargon kekuasaan. Sedangkan yang ingin diungkap oleh Arif dalam serinya ini adalah pada bagaimana pengalaman melihat dan dilihat dalam kultur masyarakat yang materialistik. Terlihat tidak terlihat bukan persoalan fisik (mata), namun lebih pada konstruksi tentang nilai-nilai dan preferensi. Dia menyatakan bahwa menjadi marjinal itu berarti menjadi tak terlihat. Tokoh yang dikamuflase dalam karya Arif justru dibaca dari hubungannya dengan tokoh lain yang ada didekatnya; di situ ada tukang becak, penjual makanan keliling, ibu rumahtangga. Seri‘Invisible’ dari Arif ini memang sengaja saya berikan penjelasan agak lebar, karena ini berkaitan dengan karya seniman lain yang sangat terkenal.
Pendekatan performatif juga dipraktekan Pungky dalam seri binatang-nya. Di sini ia membuat semacam tiruan binatang, dengan mengarahkan model-modelnya untuk membentuk anatomi binatang tertentu. Disini ia berperan sebagai sutradara dan koreografer, dimana gesture dikontrol, anatomi dibentuk dan arah disesuaikan. Seri dari Pungky ini merupakan sebuah fiksi, yang ia buat untuk mengungkapkan cara pandang dia yang terbilang unik atas perilaku manusia dan binatang. Peristiwa-peristiwa pada kedua seri diatas tentu saja tidak ada padanannya dalam realitas, dimana tokoh-tokoh tidak memerankan diri atau orang lain, ini hanyalah fiksi. Peristiwa rekaan ini menjadi semacam lokomotif yng membawa deretan gerbong makna lain dibelakangnya. Demikianlah menurut saya fotografi performatif.
2
Dalam staged photography, peristiwa direkayasa, ditata dan diarahkan, bukan membentuk sebuah peristiwa baru atau peristiwa fiksi, namun untuk memberi tekanan atau dramatisasi. Disini model memerankan diri mereka sendiri, mendramakan kehidupannya sendiri. Peristiwa yang direkam adalah peristiwa nyata yang diulang dengan perubahan atau penambahan unsur-unsur tertentu. Dalam karya Fehung, potret ibu dan bapaknya merupakan sebuah peristiwa yang ia pentaskan, ia posekan. Namun mereka berperan sebagai diri sendiri, dalam konteks dan tempat yang nyata. Gesture yang Fehung arahkan hanyalah sebuah tekanan atas maksud yang ia ingin nyatakan. Peristiwa itu bukanlah ikon atau metafora yang membawa makna diluar dirinya. Demikian pula dengan karya Abud, dimana ia mendokumentasikan fitur-fitur kesamaan antara beberapa individu. Ia memaksa mereka menggunakan baju yang sama sekaligus berpose sama pula. Potret yang dihasilkan tetap potret personal dari manusia-manusia nyata, tidak lebih tidak kurang. Kekuatan dari kedua seri ini adalah pada kemampuannya menghubungkan dirinya dengan pengalaman audiens atas peristiwa yang diungkapkan. Orang tentu saja akan membongkar ingatannya tentang pengalaman yang mungkin sama dengan yang ada dalam karya-karya Fehung dan Abud.
3
Sebagai sebuah medium, fotografi ternyata mampu untuk dibawa melebihi fungsi tradisionalnya, to preserve memory. Ditangan seniman kontemporer, fotografi menjadi sebuah tool yang sangat kuat untuk mengungkapkan gagasan. Kekuatannya terletak pada keterkaitan representasionalnya dengan realitas. Peristiwa yang terekam selalu menjadi penting- ia ada dan tidak terbantahkan, dan kita selalu takjub atas misteri yang muncul oleh kenyataan bahwa sebuah foto tidaklah sungguh benar. That’s the joy of a photograph.
2
Dalam staged photography, peristiwa direkayasa, ditata dan diarahkan, bukan membentuk sebuah peristiwa baru atau peristiwa fiksi, namun untuk memberi tekanan atau dramatisasi. Disini model memerankan diri mereka sendiri, mendramakan kehidupannya sendiri. Peristiwa yang direkam adalah peristiwa nyata yang diulang dengan perubahan atau penambahan unsur-unsur tertentu. Dalam karya Fehung, potret ibu dan bapaknya merupakan sebuah peristiwa yang ia pentaskan, ia posekan. Namun mereka berperan sebagai diri sendiri, dalam konteks dan tempat yang nyata. Gesture yang Fehung arahkan hanyalah sebuah tekanan atas maksud yang ia ingin nyatakan. Peristiwa itu bukanlah ikon atau metafora yang membawa makna diluar dirinya. Demikian pula dengan karya Abud, dimana ia mendokumentasikan fitur-fitur kesamaan antara beberapa individu. Ia memaksa mereka menggunakan baju yang sama sekaligus berpose sama pula. Potret yang dihasilkan tetap potret personal dari manusia-manusia nyata, tidak lebih tidak kurang. Kekuatan dari kedua seri ini adalah pada kemampuannya menghubungkan dirinya dengan pengalaman audiens atas peristiwa yang diungkapkan. Orang tentu saja akan membongkar ingatannya tentang pengalaman yang mungkin sama dengan yang ada dalam karya-karya Fehung dan Abud.
3
Sebagai sebuah medium, fotografi ternyata mampu untuk dibawa melebihi fungsi tradisionalnya, to preserve memory. Ditangan seniman kontemporer, fotografi menjadi sebuah tool yang sangat kuat untuk mengungkapkan gagasan. Kekuatannya terletak pada keterkaitan representasionalnya dengan realitas. Peristiwa yang terekam selalu menjadi penting- ia ada dan tidak terbantahkan, dan kita selalu takjub atas misteri yang muncul oleh kenyataan bahwa sebuah foto tidaklah sungguh benar. That’s the joy of a photograph.
Akiq AW
12/07/2010
The Order of Things
The Order of Things | 2008-2011
The Order of Things berbicara tentang kecenderungan atau pola yang mendasari tindakan manusia ketika berhadapan dengan alam dan manusia lainnya, sebuah pra kondisi yang mempengaruhi nilai dan norma atas prilaku manusia, atas apa yang dianggap baik dan tidak. Hasil karya manusia dilihat sebagai ungkapan simbolis atas pemahaman mereka terhadap nilai-nilai yang dominan, semisal efisiensi, efektifitas, progresifitas dan estetika tertentu. Seri foto ini memiliki 3 hal kunci untuk memahami persoalan diatas, yaitu: interaksi antar benda, bentuk-bentuk yang dengan sengaja atau tidak telah diciptakan, dan system yang ditemukan dan dipraktekan. The Order of Things sesungguhnya bercerita tentang manusia dan strategi survivalnya; tentang bagaimana manusia bertahan dalam kelangkaan sumberdaya, tentang bagaimana ia terus berusaha menaklukkan alam dan pada akhirnya harus berkompromi dengan alam dan manusia lainnya.
The order of things uses photography to investigate how Indonesian people manage their everyday life problem especially with their limitation on space and natural resources. It tells a story about human life through the nature they changed, and try to reveal what lies behind all this everyday landscape. How they change the landscape with certain pattern rooted in their social and cultural experiences. Human creation, therefore, viewed as a symbolic expression about their understanding of dominant values, i.e. efficiency, effectiveness, progressive attitude and aesthetics.
The Order of Things berbicara tentang kecenderungan atau pola yang mendasari tindakan manusia ketika berhadapan dengan alam dan manusia lainnya, sebuah pra kondisi yang mempengaruhi nilai dan norma atas prilaku manusia, atas apa yang dianggap baik dan tidak. Hasil karya manusia dilihat sebagai ungkapan simbolis atas pemahaman mereka terhadap nilai-nilai yang dominan, semisal efisiensi, efektifitas, progresifitas dan estetika tertentu. Seri foto ini memiliki 3 hal kunci untuk memahami persoalan diatas, yaitu: interaksi antar benda, bentuk-bentuk yang dengan sengaja atau tidak telah diciptakan, dan system yang ditemukan dan dipraktekan. The Order of Things sesungguhnya bercerita tentang manusia dan strategi survivalnya; tentang bagaimana manusia bertahan dalam kelangkaan sumberdaya, tentang bagaimana ia terus berusaha menaklukkan alam dan pada akhirnya harus berkompromi dengan alam dan manusia lainnya.
The order of things uses photography to investigate how Indonesian people manage their everyday life problem especially with their limitation on space and natural resources. It tells a story about human life through the nature they changed, and try to reveal what lies behind all this everyday landscape. How they change the landscape with certain pattern rooted in their social and cultural experiences. Human creation, therefore, viewed as a symbolic expression about their understanding of dominant values, i.e. efficiency, effectiveness, progressive attitude and aesthetics.
11/09/2010
Benda Banyak Rupa Dalam Foto Ala Akiq AW
Selasa, 31 Agustus 2010 10:42:00 | Link:http://www.krjogja.com/krjogja/news/detail/48352/Benda.Banyak.Rupa.Dalam.Foto.Ala.Akiq.AW..html
YOGYA (KRjogja.com) - Fotografer Akiq AW menggelar pameran tunggal fotografinya bertajuk 'The Order of Things' di Mes 56 Yogyakarta dari tanggal 28 Agustus hingga 19 September 2010 mendatang. Pameran ini menampilkan 43 foto yang merupakan karya pribadinya sejak tahun 2008-2009 yang tidak ada objek manusianya.
"The Order of Things adalah karya-karya fotografi yang menghadirkan obyek-obyek foto berupa benda-benda dalam banyak rupa dan bentuknya saling berinteraksi membentuk pola, kekacauan atau saling berjajar," katanya di Mes 56 Yogyakarta, Selasa (31/8).
Menurutnya benda-benda dalam banyak rupa dan bentuk dengan medan jalan sebagai ruang pamernya itu amat menarik mata serta ingatan yang hadir sebagai ekspresi simbolik manusia atas nilai-nilai dan strategi bertahan mereka. Interaksi benda-benda yang membentuk pola itu hadir bukan sebagai sesuatu yang tidak sengaja yang menyatakan tentang kisah manusia yang berjuang melawan, berkompromi dengan alam dan manusianya serta dengan teknologi.
“Menyoroti bangunan depan rumah, bangunan bentuk itu masuk dalam obyek yang ada sehingga membentuk sesuatu yang menarik. Ini adalah ekspresi simbolik manusia antara berkompromi atau melawan teknologi tapi akhirnya memilih berkompromi,” kata seniman kelahiran Kediri ini.
Akiq mengatakan kemunculan benda-benda itu barangkali mengundang pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu untuk dijawab namun amat menarik untuk dipikirkan bagaimana benda-benda itu muncul dan bisa dimanfaatkan sebagai obyek foto. “Saya mengambilnya secara snapshot, melatih kepekaan melihat bentuk-bentuk aneh, menelusuri keanehan, melihat langsung semua bentuk dipinggir jalan,” ujarnya.
Akiq AW memamerkan 43 karya fotografi dengan ukuran-ukuran yang cukup bervariasi mulai dari ukuran terkecil 20 cm x 20 cm hingga terbesar 90 cm x 90 cm. Karya-karya Akiq adalah karya-karya pribadi yang dikoleksi dari 2008-2010 ada beberapa juga dibuat tahun 2006. “Sebagian besar foto-foto ini saya buat di Yogyakarta tapi juga beberapa dihasilkan di tempat lain seperti di Kopeng, Muntilan dan Kediri,” kata lulusan jurusan komunikasi Fisipol UGM ini.
Memperhatikan karya-karya foto yang dipamerkan Akiq bisa dimunculkan pemikiran, 43 karya fotografi Akiq akhirnya menjadi karya-karya yang sangat personal dalam melihat keanehan-keanehan interaksi antarbenda yang ditemuinya dalam 2 tahun terakhir ini. Ekspresi manusia atas benda-benda nampak sangat jelas hadir dalam karya foto yang mengetengahkan bentuk ranting serta daun sebuah pohon yang ditata sedemikian rupa oleh tangan manusia dengan menggunakan peralatan atau teknologi.
Semua karya fotografi yang dipamerkan Akiq memberi pemahaman besar bagi para pengunjung bahwa interaksi benda-benda yang membentuk pola itu adalah ajakan untuk berfikir tentang kekinian yang terjadi.Juga sebuah keberlanjutan cara pandang terhadap prinsip, nilai, norma dan kepentingan antarmanusia dan alam disekitarnya. (Fir)
Subscribe to:
Posts (Atom)